Setiap pagi, para orangtua yang tinggal di wilayah Jabodetabek sibuk mengantar anak-anak ke sekolah dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum.

Meskipun letak sekolah tak jauh, namun perjalanan bisa memakan waktu. Macet bagaikan menu harian yang mesti ditelan orangtua dan anak-anak di kota-kota besar.

Berbeda dengan anak-anak di Jakarta dan kawasan penyangganya, puluhan siswa SMK Negeri 1 Seimenggaris di Kabupaten Nunukan, Kalimatan Utara mesti menempuh jalan puluhan kilometer menuju sekolah.

Tak sedikit anak yang mesti bangun sebelum ayam jantan berkokok. Salah satu siswa SMK Negeri 1 Seimenggaris, Agus (18), tinggal 12 kilometer dari sekolahnya.

Setiap hari, siswa kelas 12 jurus otomotif itu mesti bangun pukul 03.00 Wita agar tak terlambat mengikuti pelajaran.

Untuk mencapai sekolah, ia mengendarai motor dari Desa Tabur Lestari, tempat orang tuanya tinggal, melalui jalan milik perusahan sawit.

Jalan tanah yang ditempuh menjadi sangat licin saat hujan. Sesekali, ia mesti berhenti sejenak karena seekor ular kobra melintasi jalan.

Pulang sekolah, ia mesti menempuh panjang perjalanan yang sama dan tiba di rumah sekira pukul 19.00 Wita. Tak ada alasan untuk tak pulang karena ia mesti menjaga ibunya yang sakit kanker payudara. Hampir tiga tahun ia berjuang menempuh jalan panjang dan licin agar tamat sekolah.

Agus merupakan satu dari 162 siswa yang menuntut ilmu di SMKN 1 Seimenggars. Lebih dari separuh pelajar di sekolah itu merupakan anak-anak TKI yang bekerja di Malaysia.

Perjuangan Agus menuju sekolah tak harus dialami anak-anak Nunukan lainnya di masa depan. Sebab, pemerintah berupaya keras untuk mewujudkan pemerataan pendidikan. Salah satunya melalui program Sekolah Garis Depan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, Sekolah Garis Depan dan Guru Garis Depan merupakan program prioritas di Kemendikbud. Kedua program itu, kata dia, diselenggarakan di daerah khusus, yakni daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).

“Sekolah Garis Depan merupakan perwujudan Nawacita ke-3 dengan pembangunan sekolah di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal serta daerah yang terdepan dari segi ekonomi,” katanya dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Kominfo, awal Agustus lalu.

Pada 2016, pemerintah telah membangun 114 SGD di 49 kabupaten/kota. Pembangunan itu terdiri atas 11 unit sekolah baru, yang terdiri atas 7 SMA, 2 SMK, 2 SLB. Selain itu, pemerintah melakukan revitalisasi dan 103 sekolah, yakni 27 SD, 30 SMP, 25 SMA, 18 SMK, dan 3 SLB.

Menurut dia, penentuan daerah yang masuk kategori terdepan, terluar, dan tertinggal berdasarkan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan tentu saja atas usulan pemerintah daerah.

Baca: Pemerintah Targetkan Ketimpangan Terus Menurun

Sekolah satu atap dan berasrama menjadi salah satu model sekolah yang akan dikembangkan Kemendikbud di daerah tertinggal.

Muhadjir Effendy mengatakan, pembangunan sekolah satu atap dan sekolah berasrama tersebut akan dimulai di wilayah timur Indonesia seperti Papua dan Maluku. Pembanguna sekolah satu atap dan berasrama akan menjadi solusi bagi siswa yang tinggal jauh dari pusat pendidikan.

Siswa yang tinggal di di Papua, NTT, dan Maluku tak setiap hari bisa ke sekolah. Ada kalanya, para pelajar tak masuk sekolah hingga dua bulan karena tak dapat menempuh lautan saat musim gelombang. Ombak pada saat itu bisa mencapai 4 hingga 6 meter.

Perahu Anugrah khusus digunakan antar jemput anak sekolah SDN 02 Pantai Bahagia, di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Rabu (23/8/2017).(KOMPAS.COM/Anggita Muslimah)

Untuk itu, ia melanjutkan, Kemendikbud tengah merumuskan kebijakan untuk bisa menerapkan sekolah satu atap dan berasrama di daerah 3T.

Sekolah satu atap dan berasrama nantinya tidak menggunakan bangunan sekolah yang sudah ada. Pemerintah berencana mendirikan bangunan baru yang dilengkapi fasilitas yang berfungsi sebagai asrama.

LEAVE A REPLY